Indonesia Property Watch (IPW) mencatat rata-rata harga tanah di Bali
naik 35%-50% per tahun. Hal ini berdampak pada bisnis properti khususnya
sektor perhotelan di Bali yang sudah sangat menjamur.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan pihaknya sejak tahun lalu telah memberi peringatan (market warning) kepada pebisnis perhotelan khususnya di Bali, karena kondisi harga tanah yang melejit di Pulau Dewata tersebut.
"Harga terendah saat ini mencapai Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar per are atau per seratus meter persegi dan telah naik lebih kurang 35% - 50% per tahun bahkan lebih," kata Ali dalam situs resminya, Minggu (14/9/2014)
Ali mengatakan kenaikan harga tanah di Bali yang sangat tinggi berbanding terbalik dengan tingkat hunian hotel di Bali yang mengalami kemerosotan menjadi rata-rata 60-an persen.
"Hal ini membuat para pemilik hotel mulai melakukan perang tarif. Room rate yang tadinya Rp 600.000 per malam telah terkoreksi menjadi Rp 350.000 per malam," katanya.
Menurutnya, dari kondisi yang ada diperkirakan tingkat investasi hotel menjadi tidak layak untuk bertahan untuk jangka panjang. Paling tidak sebuah proyek hotel masih bisa bertahap dengan tingkat hunian 60% dengan asumsi harga pasaran masih wajar sesuai kelasnya.
"Untuk konsumen memang menjadi diuntungkan, namun secara investasi hal ini menjadi tidak sehat bagi industri perhotelan nasional," katanya.
Ia menambahkan fenomena perang tarif hotel akan terjadi di daerah lainnya. Ali memperkirakan, setelah Bali menyusul perang tarif terjadi di Bandung Jawa Barat, dan selanjutnya akan terjadi di Yogyakarta, dan Solo.
"Saat ini paling tidak terdapat 8 hotel di Bandung dan 12 hotel di Bali yang siap dilego karena tidak sanggup bersaing dengan pasar persaingan yang ada," katanya.
Sehingga, lanjut Ali, Indonesia Property Watch mendesak masing-masing pemda untuk tidak mengobral izin perhotelan tanpa melihat pasar yang ada. Moratorium penghentian izin hotel sebaiknya segera dilakukan oleh pemda setempat sebelum banyak korban berjatuhan.
"Pengembang perhotelan disarankan untuk lebih dapat membuat proyek memiliki konsep dan tidak bersaing frontal dengan pasar hotel biasa," serunya.
Ia juga menyarankan agar pengusaha melakukan diferensiasi produk hotel, misalnya membangun hotel berbentuk vila, sehingga dapat menjadi pilihan untuk memenangkan persaingan.
"Daripada berperang di pasar hotel budget, celah pasar segmen atas ternyata masih menjanjikan karena saat ini belum jenuh, namun hati-hati melihat peta persaingan yang ada," katanya.
Saat ini daerah-daerah wisata semakin menjadi sorotan para investor properti, terutama mereka yang berencana membangun condotel atau villatel. Selain Bali, Puncak, Jawa Barat juga sangat menggiurkan. Jalur Puncak 2 akan membuka area Puncak yang selama ini ter"isolir" oleh kemacetan di jalur yang selama ini menjadi akses utama ke Puncak.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan pihaknya sejak tahun lalu telah memberi peringatan (market warning) kepada pebisnis perhotelan khususnya di Bali, karena kondisi harga tanah yang melejit di Pulau Dewata tersebut.
"Harga terendah saat ini mencapai Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar per are atau per seratus meter persegi dan telah naik lebih kurang 35% - 50% per tahun bahkan lebih," kata Ali dalam situs resminya, Minggu (14/9/2014)
Ali mengatakan kenaikan harga tanah di Bali yang sangat tinggi berbanding terbalik dengan tingkat hunian hotel di Bali yang mengalami kemerosotan menjadi rata-rata 60-an persen.
"Hal ini membuat para pemilik hotel mulai melakukan perang tarif. Room rate yang tadinya Rp 600.000 per malam telah terkoreksi menjadi Rp 350.000 per malam," katanya.
Menurutnya, dari kondisi yang ada diperkirakan tingkat investasi hotel menjadi tidak layak untuk bertahan untuk jangka panjang. Paling tidak sebuah proyek hotel masih bisa bertahap dengan tingkat hunian 60% dengan asumsi harga pasaran masih wajar sesuai kelasnya.
"Untuk konsumen memang menjadi diuntungkan, namun secara investasi hal ini menjadi tidak sehat bagi industri perhotelan nasional," katanya.
Ia menambahkan fenomena perang tarif hotel akan terjadi di daerah lainnya. Ali memperkirakan, setelah Bali menyusul perang tarif terjadi di Bandung Jawa Barat, dan selanjutnya akan terjadi di Yogyakarta, dan Solo.
"Saat ini paling tidak terdapat 8 hotel di Bandung dan 12 hotel di Bali yang siap dilego karena tidak sanggup bersaing dengan pasar persaingan yang ada," katanya.
Sehingga, lanjut Ali, Indonesia Property Watch mendesak masing-masing pemda untuk tidak mengobral izin perhotelan tanpa melihat pasar yang ada. Moratorium penghentian izin hotel sebaiknya segera dilakukan oleh pemda setempat sebelum banyak korban berjatuhan.
"Pengembang perhotelan disarankan untuk lebih dapat membuat proyek memiliki konsep dan tidak bersaing frontal dengan pasar hotel biasa," serunya.
Ia juga menyarankan agar pengusaha melakukan diferensiasi produk hotel, misalnya membangun hotel berbentuk vila, sehingga dapat menjadi pilihan untuk memenangkan persaingan.
"Daripada berperang di pasar hotel budget, celah pasar segmen atas ternyata masih menjanjikan karena saat ini belum jenuh, namun hati-hati melihat peta persaingan yang ada," katanya.
Saat ini daerah-daerah wisata semakin menjadi sorotan para investor properti, terutama mereka yang berencana membangun condotel atau villatel. Selain Bali, Puncak, Jawa Barat juga sangat menggiurkan. Jalur Puncak 2 akan membuka area Puncak yang selama ini ter"isolir" oleh kemacetan di jalur yang selama ini menjadi akses utama ke Puncak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar